Lukisan Afdruk di Layar Sutra
- Ignatius Nawa Tunggal
- Mar 14
- 4 min read

Teknik cetak saring atau sablon merupakan salah satu dari sekian teknik dalam seni grafis. Di situ ada proses membuat film atau cetakan negatif dari gambar. Ini proses afdruk. Biasanya digunakan kain sutra yang dibentangkan kencang menjadi layar untuk menangkap gambar tersebut. Berhenti pada proses afdruk ini ternyata bisa menghadirkan lukisan yang unik.
Seperti itulah yang dikerjakan perupa Theresia Agustina Sitompul (44), perempuan asal Pasuruan dan kini menetap di Yogyakarta. Tere, sapaan akrabnya, menyelesaikan studi jenjang S-1 dan S-2 di Institut Seni Rupa Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia menekuni karya di bidang seni grafis. Lukisan-lukisannya dengan proses afdruk sablon itu dipamerkan di Galeri Artsphere, Jakarta, mulai 8 Maret hingga 8 April 2025, bertajuk "Perception".
"Karya yang saya pamerkan bukan hasil cetakan dengan teknik sablon, melainkan layar sutra yang biasa digunakan untuk mencetak gambar dengan sablon," ujar Tere, Kamis (13/3/2025), di Yogyakarta.
Seperti karya seni grafis pada umumnya, proses penciptaan karya ini bertahap dan rumit. Tere menggunakan layar sutra T90, artinya dalam bidang sutra satu sentimeter persegi terdapat 90 titik lubang. Jenis ini termasuk bidang layar sutra yang cukup lembut untuk sablon.
Bagian layar sutra yang dicetak akan menghambat cat, sedangkan bagian yang tidak tercetak akan meneruskan cat sablon ke medium di bawahnya.
Ada bahan khusus untuk membuat cetakan negatif ini. Bahan khusus itu dilapiskan pada layar sutra di tempat yang agak gelap karena bahan itu akan segera mengeras ketika terkena cahaya matahari.
"Pertama kali yang harus saya persiapkan, membuat sketsa benda-benda domestik di sekitar. Saya memilih benda-benda domestik untuk menimbulkan berbagai macam persepsi dari karya yang dihasilkan nantinya," ujar Tere.
Sketsa kemudian dialihkan ke komputer. Dengan komputer itu sketsa diolah menjadi bahan cetakan positif, lalu dicetak sesuai ukuran yang dikehendaki. Di sini ada istilah cetak negatif dan positif. Jika negatif, cetakan dibuat untuk menghambat cat yang akan keluar ke medium, misalnya layar sutra tadi. Sebaliknya, jika positif maka cetakan akan sama dengan hasil yang dikehendaki di medium.
Benda-benda domestik untuk obyek karya yang dimaksud Tere, antara lain, adalah kaus kaki, sepatu, sarung tangan, singlet, bra, dan sebagainya. Setelah dicetak menjadi lukisan afdruk gradasi satu warna, tidak selamanya citra benda-benda itu memberi persepsi tunggal.
"Di situlah bisa muncul beraneka macam persepsi. Dari benda-benda domestik saya melukis kemungkinan-kemungkinan baru, persepsi-persepsi baru," ujar Tere.
Persepsi Baru
Teknik cetak afdruk menghasilkan satu warna atau monokromatik yang bisa membentuk gradasi warna dari transparan ke gelap. Gradasi warna inilah yang membangun komposisi ruang dan bentuk sehingga dengan cetakan benda domestik bisa menimbulkan persepsi yang lain, persepsi yang baru.
Ada kontekstualitas di era digital sekarang. Dunia media sosial membuka arus informasi digital yang menimbulkan beraneka macam persepsi. Persepsi bergantung pada kepentingan, pengetahuan, dan tujuan.
Ada karya Tere yang cukup unik. Karya itu berjudul "Ujung Tebing" (2025). Mediumnya afdruk emulsion on screen T90 dan oil pastel, di layar sutra berukuran 90 cm × 150 cm. Padahal, Tere mengambil obyek cetakannya dari bentuk celana dalam.
"Setelah cetakan afdruk selesai, saya mengamat-amati dan muncul persepsi seperti pemandangan di ujung tebing," ujar Tere.
Untuk menguatkan persepsi baru tersebut, Tere menambahkan goresan oil pastel untuk membentuk unsur yang menunjang. Di dalam karya "Ujung Tebing" tersebut, Tere menggunakan oil pastel berwarna putih untuk menambahkan bentuk-bentuk awan putih.
Lukisan afdruk dengan obyek celana dalam pun menjadi lukisan pemandangan yang terlihat di sebuah ujung tebing.
"Persepsi berada di sebuah ujung tebing itu muncul setelah karya lukisan afdruk itu selesai," kata Tere.
Metode ini mungkin berbeda dengan proses penciptaan lukisan secara umum. Persepsi atau pemikiran mungkin lahir terlebih dahulu, kemudian menjadi gagasan dan menuangkannya ke dalam lukisan.
Lukisan afdruk Tere membalik hal itu dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Bisa saja persepsi senimannya berbeda dengan persepsi penikmat karyanya. Tere membebaskan hal itu, tetapi ia tetap harus menyatakan persepsi diri terhadap bentuk yang muncul.
Ada lagi karya yang diberi judul "Rumah" (2025), medium afdruk emulsion on screen T90 dan oil pastel di layar sutra berukuran 40 cm × 40 cm. Kentara sekali wujud gambar terbentuk dari sebuah kaus singlet, tetapi Tere menangkap persepsi lain, yakni sebuah bangunan rumah.
Ada juga bentuk gambar bra kamisol yang digantung di seutas tali. Tere memberi judul karya ini "Masih Ada Satu Lagi" (2025), medium afdruk emulsion on screen T90 dan oil pastel di layar sutra berukuran 40 cm × 40 cm.
Gradasi bentuk bra kamisol itu seperti membentuk figur dua manusia yang saling bercakap-cakap. Pilihan judul "Masih Ada Satu Lagi" disematkan, mungkin memberi narasi selain mereka berdua, masih ada satu lagi. Mungkin juga persepsi yang lain, semua dibebaskan kepada penikmatnya.
Ada pula gambar yang dihasilkan dari dua potongan pakaian dalam. Tere memberi judul "Dua Bukit" (2025), medium afdruk emulsion on screen T90 dan oil pastel di layar sutra berukuran 90 cm × 150 cm. Setiap potongan pakaian dalam menimbulkan persepsi Tere terhadap dua bukit yang terbelah lembah. Di antara kedua bukit itu, Tere mengimbuhkan bulatan matahari bersinar kekuningan.
Masih ada lagi belasan karya Tere disuguhkan di dalam pameran Perception tersebut. Dengan mengambil salah satu bagian dari proses seni cetak sablon, Tere melukis dan membangun narasi atas persepsi-persepsi yang muncul.
Imajinasi
Di dalam tulisan pengantar pameran, Dessy Rachma menekankan, karya Tere menunjukkan kuatnya imajinasi yang bergerak di luar sistem. Saat ini dunia menuntut kita untuk rasional, efisien, dan terukur. Akan tetapi, imajinasi tetap bergerak dan terus berkembang di luar itu semua.
"Kemampuan berimajinasi adalah salah satu keberkahan kita menjadi manusia," ujar Dessy.
Imajinasi menumbuhkan kebiasaan membangun narasi dari kehampaan. Dari situ menemukan dunia lain meski samar. Inilah fitrah manusia.
"Bahwa sebetulnya semua obyek yang ada di sekitar kita tidak harus diterima begitu saja. Imajinasi adalah cara dan alat subversif untuk membongkar realitas yang terlihat tetap," ujar Dessy.
Kebebasan berimajinasi menjadi satu-satunya hal yang masih bisa kita nikmati di dunia industri yang penuh logika dan kikuk saat ini. Tere menunjukkan dunia imajinasi murni dan bebas, tidak terikat.
Pameran ini adalah upaya pemurnian tentang bagaimana kita membuat reka ulang bayangan-bayangan subyektif yang terbangun. Begitu pula bagaimana kita memaknai benda-benda di sekitar kita.






Comments